03 Mei 2010

Novel Kedua.

Belum ada judul. Jadi aku minta saran untuk judulnya juga...

Pertama

Udara kali ini sangat panas. Nggak tahu kenapa. Seharusnya bulan Desember sudah masuk musim hujan. Tapi nggak tahu dengan musim di Pasuruan ini. Aku melewatkan hujan pertamaku di Malang. Ya, aku pindah kesini sejak bulan Oktober. Berhubung males sekolah, jadi baru kali ini aku ngedaftar ke sekolah SMP di Pasuruan ini.

Katanya Kota Santri, tapi kok banyak pasangan muda-mudi yang lagi deket-deketan mesra ya di angkot? Aku masih belum apal bener dengan daerah Pasuruan. Cuma, kata ibu kalau naik angkot dari rumahku, aku harus naik angkot G3 dan kalo’ nyampe’ bilang Wisma Karya. Ntar sopirnya tahu ndiri dech.

Aku udah tahu sekolah baruku. Katanya sich, favorit se kota… (Katanya) Tapi kok bangunannya gitu amat ya? Kumuh banget… Kamar mandinya jelek abis. Dari 7 kamar mandi, cuma 3 yang bisa kepakai. Yang 1 nya, gak da pintunya. Yang 3 lainnya gak ada airnya. Belum lagi dengan ruangan atas yang banyak kelelawarnya. Maklum, bangunannya peninggalan Belanda.

Namun, yang bikin aku seneng adalah arsitektur nya yang indah (namun nggak kerawat). Pintu dan jendelanya gedhe-gedhe kayak di Lawang Sewu. Atapnya juga bagus. Lantainya pake’ marmer gedhe-gedhe juga. Tapi sayang, nggak kinclong lagi…

Ah, udah mau nyampe’ nih…

“Wisma Karya, Pak”, kataku ke sopir angkotnya.

Nggak lama, tuh tukang angkot nurunin aku di SMP 2 Pasuruan, sekolahku. Bangunan depannya warna hijau. Atap musholanya bagus. Bertingkat kayak di TV. Halaman depannya kurang luas. Cuma ada 3 pohon dan taman kecil-kecilan di depan halaman.

Katanya, anak disini pinter-pinter. Jadi syukur banget dech aku bisa masuk ke sekolah ini. Bangga sekaligus kecewa. Bangga karena bisa masuk. Tapi kecewa dengan bangunannya yang kurang terawatt. Padahal, kalo’ mau, ni sekolah akan dapat predikat ‘History School’. Keren banget…

Aku mulai masuk ke dalam sekolah. Menyusuri lorong-lorong kelas. Banyak mata-mata aneh mulai melirikku. Ada yang berbisik-bisik. Aku mulai melewati tangga. Namun, aku tak menaiki nya. Karena di atas adalah blok nya kelas 9. aku lurus saja. Hingga aku berhenti di sebuah kelas. Kelas 8B. Yup, aku siswa baru yang masuk ke kelas 8B. Sungguh suatu keberuntungan karena aku bisa masuk kelas 8B. Kelas itu kelas unggulan. Wow!!

Rupanya aku sedikit telat. Terbukti dengan adanya guru yang sudah duduk manis di depan kelas sambil menulis di papan. Jam barapa sih masuknya nih sekolah? Kalo’ dulu aku di Malang sich masuknya jam 07.00 WIB. Masak masih jam 06.50 udah ada gurunya?! Busset!!!

“Assalamu’alaikum…”,kataku sambil mengetuk pintu. Sejurus seisi kelas melihatku. Kecuali, cewek manis yang duduk di pojok kelas itu. Serius banget dia…

“Wa’alaikum salam…”, jawab guru cantik itu. Rupanya, semua siswi disini diwajibkan memakai kerudung. Termasuk para guru-gurunya. Wajah guru itu mengernyit. Mungkin dia merasa asing karena belum pernah melihatku.

“Saya murid baru disini, Bu.”, jelasku.

“O… Silahkan masuk”, jawab guru itu sambil tersenyum. Cantik sekali.

Akupun masuk ke kelas itu. Aku mencoba tersenyum dengan kawan baruku. Mereka membalas. Kecuali cewek yang duduk sendiri di pojok tadi itu. Dia masih serius dan tak sedikitpun menoleh padaku.

“Perkenalkan dirimu”, kata Bu Guru cantik itu.

“Nama saya Liona Febrianti. Nick Liona. Aku dari Malang. Rumahku di Pasuruan ada di Jalan Diponegoro. Terima kasih”, kataku singkat.

“Baik Liona. Nama ibu, Bu Vera. Saya guru biologi. Untuk sementara, kamu duduk di pojok belakang sana dengan Ara.”, jawab Bu guru cantik itu sambil menunjuk ke arah cewek miseterius yang dari tadi nggak ngelirik sedikitpun padaku. Ngapain juga sich?! Sebal dech…

Dengan langkah ragu-ragu aku melangkah ke arah cewek aneh itu. Ara namanya. Cewek itu tetap diam seperti batu. Bahkan setelah aku duduk disampingnya. Kulirik wajahnya. Cukup manis untuk anak menyebalkan lainnya di sekolahku yang dulu di Malang.

“Hai…”, sapaku hangat. Walaupun aku tahu, dia sama sekali tak pantas mendapatlan sapaan dariku.

Dia melirik sebentar kearahku. Tetap dengan ekspresi kosong. Datar. Terlalu menyebalkan. Katanya Kota Santri?! Tapi, dia Cuma berlindung di balik kerudungnya itu. Sama sekali nggak pantas dengan kelakuannya yang kurang menyenangkan.]

“Hai…”, jawabnya sedikit berat.

Akhirnya ku ketahui bahwa suaranya begitu berat. Seperti ada besi 100 kg yang nyangkut ditenggorokannya. Tanpa senyum sedikitpun tersungging. Awal yang kurang baik. Sepertinya…

“Namamu siapa?”, tanyaku sambil tersenyum padanya. Dia tak melirikku. Lagi…

Dia hanya menyodorkan buku catatannya. Di sampulnya tertulis nama Ara Khalisha. Nama yang cantik bagiku. Wajahnya cukup manis untuk menenteng nama cantik itu. Tapi tak secantik kelakuannya.

Akhirnya aku memilih diam sampai akhir jam Bu Vera yang kemudian disusul dengan jam istirahat. Aku tetap diam ditempatku. Ara juga tak mengubah posisinya sedikitpun. That’s Great!

Banyak teman yang lain mengerubungiku. Tapi, yang membuatku sangat takjub adalah cewek yang duduk di depanku. Wajahnya sangat cantik. Sangat. Kulitnya putih. Mungkin hampir sama dengan warna kulitku. Tubuhnya yang bagus sedikit tersamarkan dengan bajunya yang agak kelomboran. Namun sayang, dia bermata empat!

Dan cewek cantik itu menyapaku. Teman sebangkunya juga menyapaku. Dia tak kalah cantik dari si bermata empat.

“Hai.. Kenalin aku Nuri”, kata si bermata empat.

“Aku Nia”, kata cewek sebelahnya. Baru kutahu, dia jauh lebih cantik dari yang kulihat tadi.

“Hai…”, sapaku pada mereka berdua.

“Aku boleh nanya nggak?”, kataku.

“Silahkan…”, jawab mereka berdua sambil terkekeh.

“Tapi aku pengen jajan nih… Keluar yuk… Sekalian tunjukin jalannya.”, celotehku.

Ini sebenarnya alasanku untuk ingin sedikit bertanya tentang si Ara Khalisha itu. Aku penasaran apakah dia berkelakuan seperti itu juga dengan teman-teman yang lain?

Ku tarik napas dalam-dalam… Memberanikan diri. Sedetik setelah aku bernapas mereka malah bertanya.

“Kenapa kau bisa tahan duduk dengan vampire itu?”, tanya Nia sambil memasang raut wajah yang sedikit aneh.

“Nggak tau…”, jawabku seadanya.

“Apakah dia juga berlaku sedemikian buruknya dengan kalian?”, lanjutku.

“Ya. Bahkan dengan seisi jagat raya mungkin.”, jawab Nuri. Nadanya sinis.

“Sejak dia masuk sekolah?”, tanyaku.

“Well… Iya. Aku juga nggak tahu tuh anak kenapa. Kelewat introvert.”, jawab Nuri. Aku tersenyum.

“Kenapa dia bisa begitu ya?”, tanyaku lagi.

“Ehm…”, jawab Nia seperti mengetahui sesuatu.

“Mau aku beri tahu sesuatu?”, lanjut Nia dengan mimik serius dan meyakinkan.



Bersambung...

Cerpen "Siapa Disana"

Buat temen-temen…
Sorry, kali ini temanya agak berbeda…
Ni dia…


Siapa Disana


Malam ini terasa lain. Dinginnya menusuk tulang sehingga aku menggunakan double jaket. Ku gas motorku untuk berangkat ke studio buat on air. Ya, setiap hari Kamis adalah acaraku. Aku adalah penyiar radio acara curdio. Curhat di radio. Walaupun dingin, aku tetap harus setia buat duduk mendengarkan klienku cerita. Ah, aku semakin penasaran siapa nanti yang akan menelepon…
Setelah aku sampai di studio, aku langsung saja ngeloyor masuk ke ruangan on air. Rupanya Radit sudah nutup acaranya. Berarti sebentar lagi giliranku. Kusapa Radit.
“Hai. Gimana fans mu?”, godaku sambil tertawa.
“Syukur… Rupanya dia gak ndengerin gue show…”, katanya sambil tertawa tak kalah keras dengan suaraku.

Sekarang giliranku. Aku duduk di bangku kebesaranku. Kupasang headphone ku. Dan aku mulai menyapa pendengarku.
“Hai hai hai… kembali lagi dengan saya, Nana di acara curdio, Curhat Di Radio. Di edisi tanggal 15 April 2010 ini, cerita apa ya yang akan kalian bagikan ma aku?! Ehm, jadi penasaran nih… Oke, segera telpon aja di 081333683002. Tapi inget, disini boleh menggunakan nama palsu dan tempat yang disamarkan untuk menjaga privasi dari sang pencerita. Dan Nana akan siap nerima curhatan kamu. Ehm, kayaknya ada yang mau lewat nih. Ini dia dari Utopia dengan Antara Ada Dan Tiada…”, celotehku tanpa henti.

Aku melirik kearah Radit yang ternyata tengah enak-enaknya makan bakso. Wajahnya sangat lucu sekali sambil mendesis-desis kepedesan…
“Napa loe Dit? Habis dikejar anjing herder ya lu?”, godaku sambil tertawa.
“Kagak… Kayaknya nie gue lagi apes nih. Si abang tukang baksonya ngasih sambelnya kebanyakan. Eh, malah tiba-tiba ilang gitu aja.”, katanya dengan moncong 5 centi-nya itu.
“Jangan-jangan si abang tukang baksonya setan kali…”, godaku sambil tertawa lebih keras. Mungkin aja, kalau ada kaca di nih ruangan, bisa pecah tuh…
“Hah? Jangan nakut-nakutin gue lu Na… Ni hari kan malam jum’at kliwon…”
“Halah… Percaya sama yang gituan. Kalo gitu, mungkin aja tuh bakso adalah ulernya.”, kataku sambil dengan pandangan menakut-nakuti.
“Udah… Tuh urusin radio lagunya udah mau kelar!”, katanya sedikit marah. Namun, aku tahu bahwa sebenarnya dia itu takut.

Aku mulai kembali fokus ke siaranku.
“Itu dia lagunya Utopia dengan Antara Ada Dan Tiada. Lumayan mengisi malam yang dingin nan sepi di studio ini. (Telepon berbunyi) Oke rupanya ada telepon yang masuk. Kita sapa dulu dan dengar cerita apa yang mau dibagikannya pada kita semua…
Halo selamat malam… Dengan siapa dan dimana ini?”,

Sepi…

“Halo, dengan siapa dan dimana disana?”
Masih sepi…

“Oh, mungkin teleponnya putus… Ehm dingin banget ya malam ini sobat semua… Selama sepekan ini, pasti kalian punya pengalaman-pengalaman yang seru bukan?! Kalian juga bisa berbagi pengalaman disini… Atau kalian yang punya masalah, bisa dicarikan solusinya di sini…”

Telepon berbunyi lagi…

“Halo, Curdio Curhati Di Radio… Dengan siapa dan dimana?”
“Halo. Namaku Kunti. Aku ada di sekitar Jalan Kamboja.”
“Mau curhat apa Mbak Kunti? Nana disini dan para pendengar sudah siap pastinya mendengarkan cerita anda…”
Sejurus kemudian, aku terdiam untuk mendengarka cerita dari klien ku ini.
“Ini kisah saya sejak tiga tahun yang lalu. Saya seorang janda. Punya anak satu. Namanya Kiki. Umurnya empat tahun. Saya cerai dari suami saya karena dia selingkuh dengan sahabat saya.”
“Emm, maaf memotong Mbak Kunti, apakah semua nama ini adalah nama samaran atau tidak?”, selidikku. Namun, kenapa tiba-tiba di studio serasa sunyi sekali. Aku tak mendengar suara Radit atau assistenku.
“Itu nama asli semua, Nana.”
“Monggo diteruskan mbak.”
“Setelah dua tahun cerai, dia kembali. Dia bermaksud untuk mengambil anak saya. Saya nggak rela mbak… Saya nggak pengen kehilangan anak saya. Dia memaksa anak saya buat ikut sama dia. Tapi, anak saya nggak mau. Akhirnya, kami masuk ke Pengadilan buat perkara ini. Saya heran dengan dia. Tiba-tiba aja dia ingin mengambil anak saya dari saya.”, kata Mbak Kunti dengan nada datar.
“Mungkin dia rindu dengan Kiki?”
“Nggak mungkin, Na… Saat cerai, dia bilang sama saya kalau dia nggak mau tau dengan semua urusan Kiki.”, katanya tetap dengan nada datar. Aku semakin merasa sepi. Dan, merinding…
“Terusin mbak…”
“Setelah dua bulan di pengadilan, hakim memutuskan kalau Kiki diasuh dengan saya. Saya lega mendengar hal itu. Namun, rupanya dia nggak terima. Seak saat itu, hidupku terus diteror. Mulai dari sms-sms yang isinya nggak bener, lalu dia juga meneror saya kalau dia akan menculik Kiki dan yang paling membuat saya takut adalah dia mengancam akan membunuh saya kalau saya nggak ngasih Kiki ke dia.”
“Koq begitu ya?”
“Tapi, semua yang dia katakan itu kenyataan Na…”
“Maksudnya?”
"Teror itu benar-benar dia lakukan. Malam itu, aku dan Kiki sedang tidur Na… Saya seperti mendengar suara-suara aneh. Antara sadar dan tidak, saya melihat dia membawa pisau dan sapu tangan. Sapu tangan itu rupanya berisi obat bius. Saya dan Kiki dibekapnya. Kiki dimasukkan kedalam mobilnya. Sedangkan aku, di tariknya ke kamar mandi…”
“Tunggu Mbak… Kapan kejadian itu?”
“Kemarin Na…”. Jawaban orang ini sangat aneh. Aku merasa semakin merinding. Apalagi mendengar nada suaranya yang datar. Tak ada perubahan intonasi sama sekali. Padahal cerita yang dia bawakan sangat mengharukan bagiku. Aku saja sampai menitikkan air mata. Membayangkan bahwa posisi itu berada padaku. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama.
“Lanjut mbak…”
“Setelah saya dibawa ke kamar mandi, saya di bangunkan dengan sebuah guyuran air. Saya terbangun dan melihat dia benar-benar membawa sebilah pisau yang tajam. Dia berbicara padaku.
‘Jangan takut sayang. Saya akan membuat Kiki lebih bahagia.’, begitu.
‘Jangan!!!! Saya masih sanggup membiayai hidup Kiki sendirian.’ Jawab saya.
‘Kamu nggak mau nyerahin Kiki?’, tanyanya
‘Tidak!’, kata saya sambil membentak
Lalu dia mengayunkan pisaunya ke jantungku. Aku terpejam melihat semua itu. Dan akhirnya…”

Tuut… Tuut… Tuut…
Telepon mati.

“Halo Mbak Kunti…”

Hanya suara tuut… yang menjawabku.

Aku masih penasaran dengan kelanjutan klienku yang satu ini. Mengapa dia bisa selamat? Apakah Kiki menolongnya? Ah… aku penasaran dan semakin merinding. Kurasakan udara semakin dingin. Angin berhembus sangat kencang. Dan aku tak melihat Radit disini… Hanya ada aku, assistenku dan operator di studio ini.

“Oke pendengar semuanya… Mungkin, Mbak Kunti kehabisan pulsa ya… Siapa yang mau cerita lagi di Curdio dengan Nana disini bisa hubungi ke nomor 081333683002. Emm, rupanya ada yang mau lewat ya… Ini dia Alda Risma dengan Aku Tak Biasa…”, cerocosku untuk menutupi ketakutanku.

Belum sampai aku memutar lagunya, lampu mati. Mungkin ada pemadaman, pikirku. Namun, ada satu yang membuatku aneh. Kenapa TV yang ada di luar studio bisa nyala?!
Kulihat TV itu, sebuah berita. Berita Pembunuhan Si Janda Ayu…

Kudengarkan reporternya…

“Sebuah pembunuhan naas terjadi di Jalan Kamboja. Korbannya adalah Janda cantik yang tinggal di rumah nomor 13. dia dibunuh oleh mantan suaminya yang ingin mengambil anak mereka, Kiki.”, kata reporter itu.
Aku lemas mendengar semua itu. Kuingat kata kata datar yang barusan telepon di radio. Jalan Kamboja? Korbannya seorang janda? Anaknya bernama Kiki.. Janda itu meninggal…
“Dia meninggal di dalam kamar mandi dengan sebuah tusukan pisau di jantungnya yang membuat dia langsung meregang nyawa…”

Aku semakin lemas dan merinding. Kudengar suara angin yang mulai menakutkan. Dan TV menyusul mati. Disini gelap gulita. Aku tak tahu dimana assistenku dan operator radionya. Namun, tak ada sepatah bunyipun. Hanya suara dentingan detik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam…
Lalu siapa yang meneleponku tadi??









Vey Rra Khanz
Pasuruan, 16 April 2010
Jam 11 siang